Islam melarang bentuk jual beli yan mengandung tindak bahaya bagi yang
lain semacam jika BBM naik, sebagian pedagang menimbun barang sehingga
membuat warga sulit mencari minyak dan hanya bisa diperoleh dengan harga
yang relatif mahal. Begitu pula segala bentuk penipuan dan pengelabuan
dalam jual beli menjadikannya terlarang. Saat ini kita akan melihat
bahasan sebagai tindak lanjut dari tulisan sebelumnya mengenai bentuk
jual beli yang terlarang. Moga bermanfaat.
Kedua: Jual beli yang mengandung dhoror (bahaya) dan pengelabuan (tindak penipuan)
1. Menjual di atas jualan saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
“
Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Janganlah
pula seseorang khitbah (melamar) di atas khitbah saudaranya kecuali
jika ia mendapat izin akan hal itu” (HR. Muslim no. 1412)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ
“
Janganlah seseorang di antara kalian menjual di atas jualan saudaranya” (HR. Bukhari no. 2139).
Yang dimaksud menjual di atas jualan saudaranya semisal seseorang yang telah membeli sesuatu dan masih dalam tenggang
khiyar
(bisa memutuskan melanjutkan transaksi atau membatalkannya), lantas
transaksi ini dibatalkan. Si penjual kedua mengiming-imingi, “Mending
kamu batalkan saja transaksimu dengan penjual pertama tadi. Saya jual
barang ini padamu (sama dengan barang penjual pertama tadi), namun
dengan harga lebih murah.” Si penjual intinya mengiming-imingi dengan
harga lebih menggiurkan atau semisal itu sehingga pembeli pertama
membatalkan transaksi. Jual beli semacam ini jelas haramnya berdasarkan
dalil-dalil di atas karena di dalamnya ada tindakan memudhorotkan
saudara muslim lainnya.
Begitu pula diharamkan membeli di atas belian saudaranya. Contohnya
si pembeli kedua berkata pada si penjual yang masih berada dalam
tenggang
khiyar dengan pembeli pertama, “Mending kamu batalkan
saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi. Saya bisa beli dengan
harga lebih tinggi dari yang ia beli.” Si pembeli dalam kondisi ini
berani membayar dengan harga lebih tinggi sehingga penjual berani
membatalkan transaksi dengan pembeli pertama.
Dua macam transaksi di atas adalah transaksi yang haram karena menimbulkan
mudhorot dan kerusakan bagi kaum muslimin lainnya.
Ibnu Hajar katakan bahwa dua macam transaksi di atas haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Ibnu Hajar
rahimahullah
berkata, ”Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di
atas belian orang lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti
seseorang membeli suatu barang dari pembeli pertema dan masih pada masa
khiyar, lalu penjual kedua mengatakan, “Batalkan saja transaksimu tadi,
ini saya jual dengan harga lebih murah.” Atau bentuknya adalah seorang
pembeli mengatakan pada penjual, “Batalkan saja transaksimu dengan
pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan. Jual
beli semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama” (Fathul Bari, 4:
353).
Konsekuensi dari transaksi ini menunjukkan akan tidak sahnya (Shahih
Fiqh Sunnah, 4: 391). Jual beli macam ini jelas sekali menimbulkan
saling benci, saling hasad (iri) dan saling omong-omongan yang tidak
baik antara satu dan lainnya. Oleh karena itu terlarang.
Ada juga bentuk serupa yang terlarang yang diistilahkan dengan “
saum”.
Bentuknya adalah ada dua orang yang tawar menawar, penjual menawarkan
barangnya dengan harga tertentu dan pembeli pertama sudah ridho dengan
harga tersebut kemudian datanglah pembeli kedua, ia pun melakukan
tawaran. Akhirnya, pembeli kedua yang diberi barang dengan harga lebih
atau dengan harga yang sama seperti pembeli pertama. Lantas kenapa
pembeli kedua yang diberi? Karena pembeli kedua adalah orang terpandang.
Sehingga ini yang membuat si penjual menjualkan barangnya pada pembeli
kedua karena ia lebih terpandang. Lihat penjelasan dalam Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 9: 216.
Dalam keterangan lain dari Imam Nawawi
rahimahullah, “Melakukan saum di atas
saum
saudaranya, bentuknya adalah penjual dan pembeli telah sepakat dan
sudah penjual sudah mau menjual barangnya, namun belum terjadi akad,
kemudian datanglah pembeli lainnya dengan berkata, “Saya beli barang itu
yah.” An Nawawi mengatakan bahwa tindakan seperti ini haram karena
sudah ditetapkan harga saat itu. Adapun penawaran terhadap barang yang
telah dijual dengan sistem lelang, maka itu tidaklah haram” (Syarh An
Nawawi ‘ala Muslim, 10: 158). Dalam keterangan An Nawawi ini menunjukkan
bahwa si penjual fix melakukan akad dengan pembeli yang tidak mesti
orang terpandang, artinya di sini lebih umum pada siapa saja.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَتِهِ
“
Janganlah melakukan saum (penawaran) di atas saum (penawaran)
saudaranya. Jangan pula melakukan khitbah di atas khitbah saudaranya” (HR. Muslim no. 1413).
2. Jual beli najesy
Yang dimaksud adalah seseorang sengaja membuat harga barang naik
padahal ia tidak bermaksud membeli dan dia mendorong yang lain untuk
membelinya, akhirnya pun membeli atau ia memuji barang yang dijual
sehingga orang lain membeli padahal tidak sesuai kenyataan.
Dalil terlarangnya jual beli semacam ini disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبْتَاعُ الْمَرْءُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ ، وَلاَ تَنَاجَشُوا ، وَلاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ
“
Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya, janganlah
melakukan najesy dan janganlah orang kota menjadi calo untuk menjualkan
barang orang desa” (HR. Bukhari no. 2160 dan Muslim no. 1515).
Najesy berdasarkan hadits di atas dihukumi haram, demikian pendapat
jumhur. Namun jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa jual beli najesy
tetap sah karena najesy dilakukan oleh orang yang ingin menaikkan harga
barang –namun tidak bermaksud untuk membeli- sehingga tidak mempengaruhi
rusaknya akad. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 118-119.
Ulama Hambali berpendapat bahwa jika dalam jual beli najesy terdapat
ghoban (beda harga yang amat jauh dengan harga normal), maka pembeli
punya hak khiyar (pilihan) untuk membatalkan jual beli (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 40: 119).
Sedangkan jual beli pada sistem lelang (dikenal dengan istilah
“muzayadah”), itu dibolehkan. Jual beli lelang setiap yang menawar ingin
membeli, beda halnya dengan najesy yang cenderung merugikan pihak lain
karena tidak punya niatan untuk membeli.
3. Talaqqil jalab atau talaqqi rukban
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat
lain. Sedangkan rukban yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki
tunggangan. Adapun yang dimaksud
talaqqil jalab atau
talaqqi rukban
adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari tempat lain
dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan harga
yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para
pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka
mengetahui harga sebenarnya.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena adanya pengelabuan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ.
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab” (HR. Muslim no. 1519).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,
كُنَّا
نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ الطَّعَامَ ، فَنَهَانَا
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ بِهِ
سُوقُ الطَّعَامِ
“
Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami
membeli makanan milik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
melarang kami untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan
mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana” (HR. Bukhari no. 2166).
Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia
ketahui bahwasanya ia menderita kerugian besar karena harga yang
ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia berjualan di pasar itu
sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli (Lihat
Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 805). Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَلَقَّوُا الْجَلَبَ.فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ
“
Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang
menyambutnya lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar tersebut
masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang terlalu
rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli)” (HR. Muslim no. 1519).
Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau
tidak ada tindak penipuan atau pengelabuan, maka jual beli tersebut
sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar antara ada atau tidak adanya
‘illah (sebab pelarangan).
4. Jual beli hadir lil baad, menjadi calo untuk orang desa (pedalaman)
Yang dimaksud
bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang
menjadi calo untuk orang pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang
kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu menjual barang-barangmu
sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau
akan mendapatkan harga yang lebih tinggi”.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ » . قَالَ
فَقُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ
لاَ يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
“
Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “
Yaitu ia tidak boleh menjadi calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).
Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 84).
Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu:
- Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya
dibutuhkan oleh orang banyak, baik berupa makanan atau yang
lainnya. Jika barang yang dijual jarang dibutuhkan, maka tidak
termasuk dalam larangan.
- Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan
jika harganya dibayar secara diangsur, maka tidaklah masalah.
- Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika
sampai di kota. Jika ia tahu, maka tidaklah masalah. (Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah, 9: 83)
5. Menimbun Barang
Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
"
Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa" (HR. Muslim no. 1605).
Imam Nawawi berkata, "Hikmah terlarangnya menimbun barang karena
dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai." (Syarh Shahih Muslim,
11: 43). Artinya di sini jika menimbun barang tidak menyulitkan orang
lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli hasil panen
di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi
beberapa bulan berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak
ada masalah karena jual beli memang wajar seperti itu. Jadi, larangan
memonopoli atau yang disebut
ihtikar, maksudnya ialah membeli
barang dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan
demikian ia membeli barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan
stok barang di pasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat
terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran
atau terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.
Al Qodhi Iyadh
rahimahullah berkata, "Alasan larangan
penimbunan adalah untuk menghindarkan segala hal yang menyusahkan umat
Islam secara luas. Segala hal yang menyusahkan mereka wajib dicegah.
Dengan demikian, bila pembelian suatu barang di suatu negeri menyebabkan
harga barang menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas, maka itu
wajib dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah
'menghindarkan segala hal yang menyusahkan' adalah pedoman dalam masalah
penimbunan barang." (Ikmalul Mu'lim, 5: 161).
Adapun jika menimbun barang sebagai stok untuk beberapa bulan ke
depan seperti yang dilakukan oleh beberapa pihak grosir, maka itu
dibolehkan jika tidak memudhorotkan orang banyak (Shahih Fiqh Sunnah, 4:
395).
6. Jual beli dengan penipuan atau pengelabuan
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ
فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا
هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ
النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk
makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan
beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, "Apa ini
wahai pemilik makanan?" Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut
terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "
Mengapa kamu
tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya?
Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami."
(HR. Muslim no. 102). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka
itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ.
“
Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini
shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).
Jual beli yang mengandung penipuan ini di antaranya adalah jual beli
najesy yang sudah dibahas di atas. Contoh bentuk jual beli ini adalah
jual beli yang dilakukan dengan mendiskripsikan barang melalui gambar,
audio atau tulisan dan digambarkan seolah-olah barang tersebut memiliki
harga yang tinggi dan menarik, padahal ini hanyalah trik untuk
mengelabui pembeli. Termasuk pula adalah jual beli dengan menyembunyikan
‘aib barang dan mengatakan barang tersebut bagus dan masih baru,
padahal sudah rusak dan sudah sering jatuh berulang kali. Intinya,
setiap tindak penipuan dalam jual beli menjadi terlarang.
Wa billahit taufiq.