SEJARAH
HUKUM PERKAWINAN ISLAM
MASA AWAL KEMERDEKAAN
Sebagai
makhluk bermasyarakat, manusia tidak akan bisa hidup tanpa ada Hukum, apapun
nama atau sebutannya yang mengatur pergaulan hidup mereka. Masyarakat dan hukum
laksana hubungan erat antara ikan dan air yang berbeda tetapi selalu menyatu.
Setiap
persekutuan hidup, bagaimanapun modern dan primitifpun, harus berdasar pada
jenis tertib. Tidak dapat dibayangkan ada persekutuan hidup yang tidak mengenal
semacam ketertiban, dalam hal ini hukum yang mengatur tata hidup mereka. Hukum
terdapat dimana saja/di seluruh dunia selama ada manusia bermasyarakat; hanya
bentuk daripada hukum itu yang berbeda-beda tergantung pada tingkat
peradabannya.
Semua
itu membuktikan bahwa hukum sangat berperan bagi kehidupan manusia. Memang
seperti disimpulkan L.J. Van Apeldoorn, “Setiap saat hidup kita (manusia)
dikuasai hukum. Hukum (inheren di dalamnya hukum Islam) mencampuri urusan
manusia sebelum lahir, dan masih mencampurnya setelah ia meninggal. Hukum
melindungi benih di kandungan ibu (janin) dan masih menjaga jenazah orang yang
telah mati. Contoh konkretnya, janin yang ada dalam rahim ibu yang
mengandungnya tidak boleh (haram) digugurkan tanpa ada alasan yang dibenarkan
hukum.
Termasuk
hukum syari’at yang justru melindungi manusia sejak masih dalam kandungan atau
bahkan lebih jauh dari itu sejak dalam “bentuk” sperma (air mani). Pengharaman
Zina secara mutlak dalam syari’at Islam mengisyaratkan perlindungan dan
sekaligus jaminan hukum terhadap hak-hak asasi manusia.
Perubahan
hukum dalam Islam seyogyanya harus berjalan lancar. Alasannya pada satu sisi
ada perangkat norma yang bersifat qath’i, sementara pada sisi yang lain ada
pula perangkat norma hukum yang bersifat Zhanni. Elastisitas hukum Islam akan
semakin terjamin ketika dihubungkan dengan lembaga ijtihad yang sangat dihormati
dalam teori maupun prkatek hukum Islam. Termasuk didalamnya melalui institusi
fatwa yang sewaktu-waktu bisa berubah karena tuntutan waktu dan tempat
(keadaan). Disinilah terletak arti penting dari ungkapan Ibnu Qayyim
Al-Jawziyyah, ketika merumuskan suatu kaida:”Fatwa itu dapat berubah disebabkan
perubahan zaman dan tempat”.[1]
B. PEMBAHASAN
a.
Perkawinan Menurut Hukum Agama
Pada
umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen,
samskara), yaitu suatu perikatan dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran
Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta
berkerabat tetangga berjalan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan
rohani, yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon
mempelai beserta keluarga kerabatnya.Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia
dengan iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak
seharusnya dilakukan. Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak dapat
membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.[2]
Jadi
perkawinan dalam arti ikatan jasmani dan rohani berarti suatu ikatan untuk
mewujudkan kehidupan yang selamat bukan saja di dunia tetapi juga di akherat,
bukan saja lahiriah tetapi batiniyah, bukan saja gerak langkah yang sama dalam
karya tetapi juga gerak langkah yang sama dalam do’a. Sehingga kehidupan dalam
keluarga rumah tangga itu rukun damai, dikarenakan suami dan isteri serta
anggota keluarga berjalan seiring bersama pada arah dan tujuan yang sama. Jika
perjalanan hidup berumah tangga sejak semula sudah berbeda arah kerohaniaannya
walaupun dalam arah kebendaan sama, maka kerukunan duniawi akan datang masanya
terancam keluluhan. Oleh karenanya rumah tangga yang baik hendaknya sejak
semula sudah dalam satu bahtera hidup yang sama lahir dan batin.
Menurut
hukum Islam perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali wanita calon isteri
dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali wanita
dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (kabul) oleh calon suami yang
dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak
demikian maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadis Nabi
Muhammad saw yang diriwayatkan Ahmad yang menyatakan sah nikah kecuali dengan
wali dan dua orang saksi yang adil.
Jadi
perkawinan menurut agama islam adalah perikatan antara wali perempuan (calon
isteri) dengan calon suami perempuan itu, bukan perikatan antara seorang
pria dengan seorang wanita saja sebagai dimaksud dalam pasal 1 UU no. 1-1974
atau menurut Hukum Kristen. Kata wali berarti bukan saja bapak tetapi juga
termasuk datuk , saudara laki-laki, anak-anak laki, saudara bapak yang pria,
anak-anak pria dari paman, semuanya dari keturunan pria (patrilinial) yang
beragama Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikatan perkawinan dalam Islam
berarti pula perikatan kekerabatan bukan perikatan perseorangan.
Menurut
Hukum Kristen Katolik perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan
wanita atas dasr ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas
keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.[3]Jadi
perkawinan agama Kristen Katolik adalah perbuatan yang bukan saja merupakan perikatan
cinta antara kedua suami isteri, tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah
yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu
adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis.[4]
Menurut
Hukum Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita
sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan
keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put,
yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti. Jika
perkawinan itu tidak dilangsungkan dengan upacara menurut Hukum Hindu maka
perkawinan itu tidak sah.[5]
Menurut
Hukum Perkawinan Budha (HPAB) keputusan Sangha Agung tanggal 1 januari 1977
pasal 1 dikatakan perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang
pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai isteri yang berlandaskan Cinta
Kasih (metta), Kasih Sayang (Karuna) dan rasa sepenanggungan (Mudita) dengan
tujuan untuk membentuk satum keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi
oleh Sanghyang Adi Budha/ Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para
Budhisatwa-Mahasatwa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum
Agama Budha Indonesia.[6]
b.
Ragam Hukum Perkawinan.
Dengan
Demikian di Indonesia berlaku aneka ragam Hukum Perkawinan, yang dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Hukum
pernikahan menurut KUHP perdata tercantum dalam Buku Pertama Bab 4 sampai 11,
dan berlaku untuk:
Golongan
Eropa, sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 163 I.S. ayat 2, dengan tidak
memandang agama yang dipeluknya, pencatatannya diatur dalam Stbl.1849 No. 25
dan dilaksanakan dihadapan Pegawai Catatan Sipil.
Golongan
Timur Asing Cina dengan tidak memandang agama yang dipeluknya, dengan beberapa
perubahan yang termuat dalam Stb. 1917 No. 129 yo Stbl. 1924 No. 557,
pencatatannya diatur dalam Stlb. 1917 No. 130 yo. Stbl. 1919 No. 81,
dilaksanakan dihadapan Pegawai Catatan Sipil.[7]
2.
Hukum Pernikahan Menurut Hukum Adat.
Hukum
ini sekarang belum dituangkan dalam bentuk undang dan pernikahan umat Islam.
Termasuk ke dalam kelompok Hukum Adat, berlaku untuk:
-
Golongan Indonesia asli beragama Islam.
-
Golongan Timur Asing bukan Cina (Arab, Pakistan, India, dan lain-lain) yang
beragama Islam. Pencatatannya diatur dengan UU No. 22/1946 yo Undang-Undang No.
32/1954 dan dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan.
-
Golongan Indonesia Asli yang tidak beragama Islam dan bukan umat Masehi yang
berdiam fi luar daerah Jawa/Madura , Minahasa dan oneraldeling Ambonia,
Saparua dan Banda, kecuali pulau Teun, Nila dan Serua.[8]
3.
Ordonasi Nikah.
Ordonasi
Nikah Indonesia Ummat Kristen di Jawa/Madura, Minahasa dan onderafdeling
Ambonia, Saparua dan Banda (Stbl.1933 No. 74 diubah dengan Stbl. 1934 No. 1934
No. 621 dan 1936 No. 247). Ordonasi ini berlaku untuk golongan Indonesia asli
beragama (Katolik dan Protestan0 di Jawa dan Madura, Minahasa Onderaldeling
Ambon, Saparua dan Banda, kecuali pulau-pulau Teun, Nila dan Serua.
Pencatatanya diatur dalam Stbl. 1933 No. 75 diubah dengan Stbl. 1933 No. 327,
1934 No.621 dan 1936 No. 247, dilaksanakan oleh Pegawai Catatan Sipil.[9]
4.
Peraturan Perkawinan Campuran Stbl. 1898 No. 158, ordonasi ini berlaku untuk semua jenis
Perkawinan Campuran.
5.
Bersikap Patuh
Bagi
Penduduk Indonesia terbuka ketentuan-ketentuan untuk bersdikap patuh pada Hukum
Sipil dan Hukum Dagang Eropa seperti yang diatur dalam Stbl. 1917 No. 12 yo.
528, dirubah dan ditambah dengan Srbl. 1926/360, 1931/168 yo. 423, 1932/42, dan
1939/572 yo. 14 dan Bb. 13421. Dengan bersikap patuh pada keseluruhan Hukum
perdata yang berlaku untuk orang Eropa. Dengan Demikian mereka patutlah
mencatatkan perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil.[10]
c.
Hukum Perkawinan Islam Masa Awal Kemerdekaan.
Hukum
Perkawinan yang dipakai Umat Islam pada masa awal kemerdekaan adalah:
1.
Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk.
Undang-undang
Nomor. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah,talaq dan rujuk ditetapkan oleh
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Nopember 1946, yang terdiri dari 7
pasal, yang isi ringkasnya sebagai berikut:
-
Pasal 1 ayat 1 s/d ayat 6, yang isinya diantaranya; Nikah yang dilakukan umat
Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh menteri agam,
Talak dan Rujuk diberitahukan kepada Pegawai pencatat Nikah, yang berhak
mengadakan pengawasan Nikah, Talak dan Rujuk Pegawai yang ditunjuk Menteri
Agama, bila PPN berhalangan dilakukan petugas yang ditunjuk, biaya Nikah, Talak
dan Rujuk ditetapkan Menteri Agama.
-
Pasal 2 terdiri dari ayat 1 s/d 3, yang isinya diantaranya, PPN membuat catatan
Nikah, Talaq dan Rujuk dan memberikan petikan catatan kepada yang
berkepentinga.
-
Pasal 3 terdiri dari5 ayat, isinya antaranya; sangsi orang yang melakukan
nikah, talak dan rujuk yang tidak dibawah Pengawasan PPN, sangsi orang yang
melakukan Nikah, Talak dan Rujuk padahal bukan petugas.
-
Pasal 4, isinya hal-hal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang sebagai
pelanggaran.
-
Pasal 5 isinya peraturan yang perlu untuk menjalankan undang-undang ditetapkan
oleh Menteri agama.
-
Pasal 6 terdiri 2 ayat, isinya nama undang-undang, dan berlaku untuk daerah
luar jawa dan madura.
-
Pasal 7, isinya undang yang berlaku untuk jawa dan madura.[11]
2.
Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946
Tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuka di Seluruh Daerah Jawa dan Madura.
Undang-Undang
Nomor. 32 Tahun 1954 disahkan pada tanggal 26 Oktober 1954 oleh Presiden
Soekarno. Terdiri dari 3 pasal.
-
Pasal 1, Undang-Undang RI tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk berlaku untuk seluruh daerah luar jawa dan
Madura.
-
Pasal 1 A, Perkataan Biskal- gripir hakim kepolisian yang tersebut dalam pasal
3 ayat 5 UU RI NO. 22 Tahun 1946 diubah menjadi Panitera Pengadilan Negeri.
-
Pasal 2, Peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan apa yang tersebut
dalam pasal 1 undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama.
-
Pasal 3, Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.[12]
C.
KESIMPULAN
Dari Pemaparan Makalah Sejarah Hukum Perkawinan Islam pada awal Kemerdekaan
dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Pengertian Perkawinan menurut agama yang ada di Indonesia, walaupun ada perbedaan dalam definisi namun mempunyai maksud dan tujuan yang sama bahwasannya perkawinan adalah ikatan suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan agama mejadi dasar utama.
- Ragam Hukum Perkawinan di Indonesia pada awal Kemerdekaan adalah Undang Hukum Perdata, Hukum pernikahan menurut Hukum Adat, Ordonasi Nikah, Peraturan tentang Nikah Campuran, bersikap patuh.
- Hukum perkawinan bagi ummat Islam pada awal kemerdekaan adalah UU No. 22 tahun 1946, UU No. 32 tahun 1954 dan Fiqih Islam.
[1] Ibnu
Qayyim Al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabbil-‘alamin, tt, (Mishr Dar
al-Jayl),j.3 hlm. 10.
[2] Hilman
Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama, Mandar Maju, Bandung, Hlm. 10.
[7] T.
Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Pt.
Mestika , Jakrta. Hlm.35.
[10] Tentang
Lingkungan kuasa-orang dari Peraturan Perkawinan Campuran, Lihat Gouw Giok
Siong, b, hlm. 11-160.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar